Ibu,
Aku mengulang dalam
khayal sejarah hidup kita.
Kediaman kita, cerita segelas
harapan yang ditenteng kosong oleh ayah.
Angin menepuk-nepuk atap rumah kita.
Aku dan cerita anak
dalam karung.
Kentang goreng, kerak
nasi dibaluri air teh yang membuat aku merasa sangat kaya raya saat itu.
Atau cerita air didihan
nasi penggati susu yang amat mahal.
Aku hanya sedang
mengulang lagi cerita cerita kebanggaan yang dibangun dari kepahitan hidup.
Air mata mungkin hanya
hiasan hiasan perindu saat mengingat seperti ini. Aku sedang merasa kecil lagi.
Keras.
Ada juga cerita wafer
yang dipotong empat untuk empat orang anak yang sangat girang menikmatinya satu
persatu.
Hari ini adalah
pembalasan untuk semua itu, pembuktian jika kesulitan melahirkan hati dan tekad
bak baja.
Bukan kekayaan yang membuat
rendah hati.
Bukan kenikmatan yang
membuat keramahan.
Bukan juga kemewahan
yang membuat kekuatan.
Sampaikan pada ayah
yang sudah sering mengiba. Anaknya sudah dewasa dan segera mengganti cerita
lama jadi kebanggaan.
Ingatan pengusik
keheningan yang menguras perasaan dan air mata namun sedap pelacut semangat.
Kemana lagi aku mengadu
bu, kalau bukan ke Tuhan yang kau kenalkan padaku sejak kanak.
Nama yang pertama
dilafazkan ayah di telinga ku dulu.
Aku rindu …
Aku rndu …
Ya allah aku rindu …