BERSUARA
TANPA HAK SUARA
*Oleh : Nadrian Akhsanov
Rasa
nya jari saya geli untuk tidak menulis tentang masalah pilkada DKI Jakarta,
sebagian rekan saya bertanya kepada saya kenapa kamu bicara tentang Jakarta,
sedang kamu tidak memiliki hak untuk memilih di Jakarta?, jawaban yang paling
bijak dari saya adalah seperti ini, saya akan berhenti mengomentari pilkada
Jakarta jika stasiun televisi nasional juga berhenti menanyangkan bertita yang
Cuma hanya Jakarta. Setiap mengganti chanel televisi yang saya temui lagi lagi
berita tentang Jakarta.
Begini,
permasalahan Jakarta sejatinya adalah permasalahan kita semua, Jakarta sudah
resmi menjadi ibukota Negara Republiik Indonesia yang saya cintai ini, berhenti
menyorot Jakarta berarti berhenti untuk peduli kepada Jakarta. Keinginan setiap
orang ingin ibukota negaranya setara dengan Negara Negara maju lainnya di
dunia, Tokyo, London Seoul adalah beberapa kota yang wajib kita contoh secara
system ketatakotaan. Jika menurut kita masih terlalu jauh mungkin kita bisa
menengok tetangga jiran kita Kuala Lumpur.
Masalah
Jakarta adalah masalah yang kompleks, ibu kota yang semua sektor di tujukan
padanya. Pusat pemerintahan, pusat ekonomi dan pusat segala pusat. Kita bisa
mulai berfikir jika beban yang ditanggung Jakarta sudah terlalu berat, dengan
berkaca pada Negara lain yang sudah selangkah lebih maju saya merasa ini perlu
di bahas kembali. Amerika berhasil memindahkan ibukota mereka dari New York ke
Washinton DC, New York sebagai pusat ekonomi dan Washinton DC sebagai pusat
pemerintahan, Brazil yang memindahkan Rio De Janiero ke Brazilia, Turki dari
Istanbul ke Ankara dan Malaysia yang membagi dua antara pusat pemerintahan di Putra
Jaya dan pusat bisnis di Kuala Lumpur.
Tapi
sebenarnya saya bukan sedang ingin membahas pembangunan Jakarta, paparan diatas
menjadi intro yang harus anda ketahui agar bisa sedikit mengerti bagaimana
Jakarta begitu komplek untuk menjadi ibukota Negara.
Kita
masuk ke inti masalah, saat ini sedang hangat hangatnya masalah pilkada
Jakarta, saya adalah orang yang paling setuju bila pilkada harus bersih dari
isu SARA yang sangat negative itu, ada tiga pasangan calon gubernur yang di
umumkan secara resmi oleh KPUD, nama yang muncul adalah Anies Baswedan-
Sandiaga Uno, Agus Harimurti Yudhoyono- Sylviani dan sang petahana Basuki
Tjahaya Purnama (Ahok) dengan
pasangannya saat ini Djarot Saifullah Yusuf. Saya bukan ahli politik bukan juga
ahli hukum tata Negara, tapi dengan analisis awam dan intuisi politik saya rasa
di era kebebasan berpendapat seperti sekarang ini adalah keharusan bagi
siapapun menentukan sikap untuk suatu yang menjadi fenomena social.
Sejatinya
point pertama yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin adalah KONSISTENSI
dalam segala aspek, singkronisasi antara ucapan dan perbuatan adalah salah satu
yang menjadi factor penilaian saya terhadap seseorang, terlebih dalam memilih
pemimpin. Saya tidak akan berkomentar terhadap kasus pelecehan agama yang
dilakukan oleh salah satu calon gubernur Jakarta yang belakangan ini santer
diberitakan dan menjadi viral di media social. Bagi saudaraku di Jakarta,
pilihlah pemimpin yang Konsisiten, orang yang konsisten adalah modal awal yang
akan menyelamatkan anda dalam berdemokrasi, seseorang akan menentukan
pilihannya dilatarbelakingi oleh berbagai aspek penilaian, ada yang memilih
calon pemimpin dengan latar belakang religiuslitas, unsur kesukuan, kesamaan
visi dan misi atau sampai hal hanya sekedar ganteng, itu adalah HAK anda, jika
ada seorang ulama yang menyatakan memilih pemimpin muslim kepada pemilih muslim
adalah hak yang di lindungi oleh konstitusi Negara, jadi tak ada sedikitpun
masalah dan tidak ada unsur SARA disini. Hal ini sama seperti nasehat seorang
ayah kepada anaknya untuk memilih teman dekat yang sesuai dengan ketentuan agar
anaknya menjadi lebih baik. Tidak masalah, Clear.
Memilih
pemimpin adalah memilih sosok, bukan partai politik. Dari ketiga pasangan calon
ini saya mempunyai catatan yang sudah dari dulu saya amati. Pertama adalah Anies
Baswedan, orang yang paling pintar merangkai kata bak sastrawan yang membuat
orang terlena dengan kalimatnya ini adalah salah satu yang tidak konsisten
masih ingatkah anda saat pilpres 2014 lalu? Saat itu anies ada di lingkungan
jokowi yang paling pintar menyanjung, kedekatan inilah yang akhirnya
mengantarkan Anies menjadi salah satu dari deretan orang terdekat jokowi yang
menjadi menteri, duduk dikabinet kerja dengan kinerja yang menurut beberapa
analis politik bagus namun harus tercampakkan karena bukan berasal dari partai
politik. Anies adalah orang yang paling gencar mengatakan bahwa lingkaran
Prabowo adalah lingkaran mafia, Anies saat itu menyebut Prabowo-Hatta didukung
oleh kelompok mafia seperti dugaan kasus korupsi migas, haji, impor daging,
Alquran, dan lumpur Lapindo. Pernyataan tersebut disampaikan Anies saat
konfrensi pers penyampaian program Jokowi-JK, di Hotel Holiday Inn, Bandung,
Kamis 3 Juli 2014. Dan fakta 2016 membuktikan jika Anise termakan dengan
ucapannya sendiri, mafia yang dituduh itu akhirnya menjadi orang yang bersedia
mencalonkan dirinya dalam pilkada DKI Jakarta. politik Anise adalah politik
opportunis sesiapa aja yang menguntungkan dirinya akan didekati untuk mencapai
tujuan walau harus menelan ludah yang telah di buang sebelumnya. Anies
Inkonsisten!
Selanjutnya
adalah Ahok, dengan kepercayaan diri yang tinggi dari awal ahok telah sesumbar
akan mencalonkan dirinya melalui jalur indepanden, menggandeng simpatisannya
kawan ahok ia sangat mantap akan menang di pilkada 2017 nanti, tapi fakta
berkata lain, dengan beberapa blunder yang dilakukannya, ditambah beberapa
kasus yang membelit seperti pembelian lahan sumber waras, proyek reklamasi, bus
trans Jakarta, hingga penggusuran warga menjadikan popularitasnya menjadi
anjlok, blunder terakhir yang mengundang kamarahan masyarakat muslim Jakarta menjadikan
ahok dimusuhi oleh umat islam se nusantara, dengan kesalahan tersebut akhirnya
ahok mengakui dan meminta maaf. Ahok pernah berkata bahwa partai politik adalah
sarang maling, mencaci maki bahkan gentle keluar dari partai politik yang dulu
berjasa menaikannya sebagai wakil gubernur Jakarta. Namun sikap gentle itu
terbantahkan fakta dilapangan ahok mulai melunak, satu persatu partai politik
mendekatinya dan mulai mengubah arah mata anginya, ahok akhirnya di usung oleh
partai politik yang dulu sempat bersiteru dengannya. Akhirnya ludah sendiri pun
ditelan kembali, Ahok Inkonsisten!
Satu
lagi Agus harimurti Yudhoyono, nama baru yang digadang gadang oleh clan cikeas dapat melawan ahok tersebut
rela meninggalkan karier cemerlang nya di ranah militer. Saya tidak dapat
menilai banyak, karena secara politik memang belum bisa dinilai, beberapa
catatan yang saya dapat beliau sangat cemerlang di militer, Ia menuntaskan
tugas pendidikannya selama satu tahun dan lulus pad 12 Juni 2015 dengan hasil
sempurna yaitu dengan IPK 4.0. Di saat yang bersamaan, Mayor Agus juga meraih
gelar Master of Arts (MA) dalam Leadership and Management dari George Herbert
Walker School of Business and Technology, Webster University. Juga dengan IPK
4.0. untuk beberapa karier militer mungkin anda bisa search sendiri karena saya juga tidak hafal satu persatu, tp yang
saya tahu semua pendidikan yang di ikuti agus selalu menjadi lulusan terbaik di
angkatannya.
Mungkin
dari testimony saya ini anda dapat melihat kecondongan yang saya ikuti di
pilkada DKI 2017 nanti, sekali lagi saya tidak memiliki kepentingan apapun,
analisis ini murni atas observasi alamiah yang saya lakukan dari hari ke hari,
saya tidak memiliki hak suara di DKI tapi saya memiliki hak untuk
berpartisasipasi dalam sejarah politik Indonesia. Bebrapa pendapat diatas saya
dukung dengan beberapa data agar terhindar dari fitnah, karena saya ingin Jakarta
lebih baik kedepannya.
Bandung, 13 Oktober 2016