Sedikit demi detik alam membuka tabir nya, sore hari saat mentari tampak malu sembunyi di balik awan, dari timur bumi aku melaju menuju arah kiblat. Menentang bak melawan teriknya yang menyilaukan, apartement sepi menjulang sendiri seperti sombong membanggakan kegagahan, jika malam datang di utara nya terbentang bintang daratan seperti permadani. Kata putri itu sangat cantik, dan aku sepakat tentang keindahan itu. Ituisi jernih membawa harapan lebih dekat dengan jari, aku .. aku yang sudah sedari kemarin membaca teka teki dari garis tangan, mencoba mengartikan kembali bagaimana menerima kewajaran. Aku.. aku yang detik ini beranjak kembali seperti sebelum nya, kembali ke akarnya, seperti prinsip hidupnya, kembali bersama kewajaran, menerima keadaan, menikmati kerendahan hati.
Aku punya
progress dan ekspektasi untuk kehidupan mendatang, tentang sebuah keajaiban
meneduh di bawah payung dipinggiran teluk samagi, yang air nya mengarir jernih
menuju samudera pasifik, biru nya seperti langit artik yang beku. Gerak gerik, lekak lekuk melincah gadis
geisha seperti gambar di kaleng wafer, di belakangnnya ada symbol musim semi negeri matahari terbit, di
puncaknya edelweiss dan salju saling bertemu sedang memaknai ketinggian. Aku..
aku bertanya pada mereka, siapa saja yang mendengarkan, aku ini siapa? Mengapa
aku seperti ini?
Mengenali diri
seperti memisahkan malam dengan kelam nya, sulit… tak pernah ada hari lagi
untuk bernyanyi dengan lirik yang terpotong kedinginan, ketika dua pasang bola
mata menuju satu arah biru yang berubah menjadi jingga, selang adzan ia berubah
lagi menjadi hitam. Ini kota yang penuh dengan ilusi, imaginasi terlalu liar
untuk bermain tanpa kawalan, tapi kota harapan seperti lengang tak ber nyawa,
kesunyiannya lebih indah dan khidmat tanpa cercaan dari manusia manusia tak
bernurani. Kota itu bukan hanya merekam cerita tentang pergerakkan, revolusi
dan karya tapi juga cinta!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar