BELAJAR
HIDUP
Saya sadar ini
pendakian pertama saya ke pangrango, saya butuh informasi yang pasti untuk
sampai kesana. Langsung saja saya ingat satu nama yang saya rasa sangat tepat,
Tanti ! ya.. saya rasa tidak salah orang
lagi.. tanti sudah punya pengalaman kesini, tidak ada salahnya jika saya
mencoba untuk menanya lebih jauh.. buru buru saya sms tanti, teman yang saya
tidak pernah melihat langsung bagaimana wujud nyatanya, haaa.. aneh? Ya, karena
kita hanya berkomunikasi lewat dunia maya dan sms saja. Tak sengaja bertemu
melalui salah satu group sekolah tinggi kedinasan akhirnya pertemanan kami
berlanjut sampai hari ini. Banyak info yang saya dapat dari tanti, dan akhirnya
dia merekomendasikan satu nama yang saya rasa sangat membantu kelancaran
pendakian kami sampai ke puncak. Kedatangan kami di camp IGR disambut oleh
beberapa kelompok pendaki lainya dari universitas berbeda, seperti biasa salam
dan sapaan hangat dari penikmat alam ini yang membuat saya betah sampai hari
ini untuk tetap mendaki. Saya merasa sangat terhormat sekali saat disambut dan
bersalaman langsung oleh seorang sosok pengukir sejarah pendakian Indonesia,
saksi hidup perjalanan panjang Soe Hok Gie dan kakak kandung dari Idhan Lubis
yang menemui tuhan pada pendakian bersama Soe di Simeru, ya.. siapa lagi kalau
bukan Idhat Lubis. Laki laki baya ini sangat ramah, mata nya mulai sayu, tapi
tidak dengan semangat nya.
Kami di
persilahkan masuk, sontak saja pikiran saya terbagi, mata saya fokus menatap
beberapa puisi yang terpajang di dinding, puisi mahakarya Soe Hok Gie, Idhan
Lubis dan Herman Lantang, ingin berdiri lama, tapi beban dari ransel begitu
berat dan bahu memaksa untuk berhenti memikul. Saya berjalan menuju
peristirahatan yang terletak di bagian atas, camp sederhana, bangunan yang ditopang
oleh kayu dan atap seng yang sangat nyaring saat hujan datang. Tapi itulah nada
alam, membuat irama syahdu menghembuskan kedinginan. Setelah sholat maghrib
saya turun kebawah dengan beberapa maksud dan silaturahmi, beberapa kali saya
mengangguk paham bahwa pelajaran berharga datang dari orang yang tak
terpandang, bang Yhuda namanya, orang yang di rekomendasikan oleh tanti untuk
saya temui, karena ternyata dia salah satu anggota IGR yang sudah paham seluk
beluk pendakian. Obrolan kami ringan tapi, beberpa kali saya tersentak ternyata
manusia hanya debu mengawang, sedikit hembusan tuhan manusia bisa hilang,
musnah, manusia tak lebih dari sampah plastic yang dibuang oleh pendaki pendaki
yang tak menghargai alam. Sarat makna, sarat pelajaran, tambah yakin mengapa
saya masih betah mendaki.
Hal yang paling
mencengangkan saat saya tahu jika laki laki baya yang duduk serius kursi lusuh
itu ternyata menyelesaikan study nya di jurusan yang sama dengan saya,
PSYCHOLOGY ! dan satu hal yang membuat tatapan saya kosong, tapi otak saya
berfikir saat saya mendengar beliau tamatan dari Haravard University USA. Super
wow.. saya merasa ciut mendengar itu. Tapi siapa kira, beliau lebih ramah dan
arif dari status akademiknya, ini baru padi… berisi merunduk dan bermanfaat.
Rasanya belum cukup untuk membatasi obrolan malam itu dengan bang yudha, tapi
waktu memaksa saya untuk tidur karena bsk pagi saya butuh energy lebih agar
tidak overakut saat mendaki nanti.
SEJARAH
DIMULAI
Rabu, 12 Juni
2013 pukul 05.00 , saya dibangunkan kiran untuk sholat subuh, mata saya masih
sembab, udara dingin masih betah menyerang saya bertubi tubi. Wahhh ini sungguh
hal yang paling saya hindari dari dulu, jadi ingat masa sekolah setiap hari
mamah selalu cerewet menyuruh untuk mandi pagi, maaf mah, aku hanya takut jika
air dingin ini membekukan hatiku.. haaaa … ok, kembali ke laptop…. Setelah
sholat dan mandi, saya kembali ke camp yang terletak di lantai atas, ternyata
ada dua orang pendaki lain yang sedang prepare juga, sempat berkenalan dan
ngobrol ringan dan beberapa pengalaman mulai keluar dari mulut pendaki satu
ini, dari logat nya saya yakin ini pasti pendaki dari jawa, medok nya tidak
bisa menipu ternyata benar, namanya mas temon dan mas firman pendaki asal
Jember Jawa Timur ini baru saja turun dari gunung salak, mereka juga sudah
pernah mendaki puncak tertinggi pulau jawa, ya gunung semeru yang sempat
popular karena menjadi salah satu latar pembuatan film 5cm itu.
Karena pendakian
yang mewajibkan syarat minimal jumlah pendaki akhirnya dua orang senior saya
ini bergabung dengan kami. Jadi total pendaki yang star dengan kami adalah
sembilan orang. Kami memulai perjalanan menantang ini, dengan bekal bismillah
kami melangkah pasti. Tanpa pemilihan umum dan keadaan serta situasi akhirnya
saya dituliskan menjadi ketua kelompok pendakian kali ini, setelah melewati pos
pengecekan surat surat persyaratan, perjalanan kami lanjutkan memasuki kawasan
hutan, namun belum begitu sulit karena track yang di lalui masih dalam kategori
eassy. Di tengah perjalanan tiba tiba anak anak yang lain meminta berhenti
sejenak, tampak maryam agak kesulitan melanjutkan pendakian… saya mulai agak
khawatir saat mendengar jawaban maryam ketika saya tanya ini pendakian
keberapa? Maryam menjawab ini yang pertama. Tapi, tidak masalah selama kita
tetap kompak perjalanan sejauh dan seterjal apapun pasti bisa di lewati jika
kita bersama. Bukan begitu? Saya coba untuk memeberi motivasi apa adanya pada
maryam walau kadang terdengar sedikit lebay … yahh tapi itulah saya, bukan
bermaksud gombal atau modus tapi emang wanita tangguhlah yang bisa melewati
medan yang cukup melelahkan ini termasuk dirimu maryam. Hayooo Fujiama sudah di depan mata ..(nahh ini
baru lebay)
Kami sampai di
pos pertama, sebuah pertigaan, ada rambu yang menunjukan dua jalan yang berbeda
yang satu mengarah ke air terjun dan yang satunya lagi kea rah puncak gunung.
Luruskan niat, tujuan kita adalah gunung bukan air terjun, langkah kami
lanjutkan, medan yang dilalui semakin menantang saja, terjal mendaki menanjak
atau apapun namanya itu yang pasti serasa naik gunung … haaaa … banyak pendaki
lain yang kami temui di sepanjang perjalanan, ada yang sesama mendaki adapula
yang bermaksud turun, mulai dari mahasiswa pecinta alam, korps PMI sampai korps
polisi hutan. Masih untung bukan raja hutan *upss..
Akhirnya kami
sampai di jalanan setapak yang penuh dengan kebulan embun panas, wahh… jalanan
batuan licin dan kucuran air panas mengalir dari celah bebatuan, ini medan yang
cukup menantang dan berbahaya. Kami berhasil melewati tempat ini, perjalanan
dilanjutkan lagi, akhirnya kurang lebih jam empat sore kita sampai di tempat
camp pos kandang badak, pos yang disarankan oleh bang yudha untuk kita nginap
semalaman disini sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak pangrango. Belum puas
saya melepas penat, ribuan air dari langit datang menantang, haduhh… hujan…. Dengan
sigap super cepat akhirnya kami mendirikan tenda di bawah limpahan rahmat yang
turun. Basah… basah… malam datang, kita memutuskan untuk tidur agak cepat agar
bsk pagi bisa lebih fresh mendaki sampai ke puncak, kali ini saya harus keluar
dari pakem yang selama ini sangat jarang terjadi, jujur saja saya sebenarnya
tidak bisa tidur dalam keadaan pakaian basah atau lembab walau sedikit saja,
saya pasti resah, tp sadar sendiri, ini gunung, saya keluar dari zona kenyamanan, serisih apapun tidak akan mengubah
keadaan.. dan akhirnya.. bocor…bocor..(ala iklan) . tenda yang kami inapi
bocor, atas bawah berlimpah air, haduhh… survival di kehidupan di mulai lagi, akhirnya
saya tidur dalam keadaan duduk tanpa mimpi indah malam itu.
Bersambung...
Bersambung...