Rabu, 26 Juni 2013

Mengejar GIE - Bagian II -



BELAJAR HIDUP

Saya sadar ini pendakian pertama saya ke pangrango, saya butuh informasi yang pasti untuk sampai kesana. Langsung saja saya ingat satu nama yang saya rasa sangat tepat, Tanti !  ya.. saya rasa tidak salah orang lagi.. tanti sudah punya pengalaman kesini, tidak ada salahnya jika saya mencoba untuk menanya lebih jauh.. buru buru saya sms tanti, teman yang saya tidak pernah melihat langsung bagaimana wujud nyatanya, haaa.. aneh? Ya, karena kita hanya berkomunikasi lewat dunia maya dan sms saja. Tak sengaja bertemu melalui salah satu group sekolah tinggi kedinasan akhirnya pertemanan kami berlanjut sampai hari ini. Banyak info yang saya dapat dari tanti, dan akhirnya dia merekomendasikan satu nama yang saya rasa sangat membantu kelancaran pendakian kami sampai ke puncak. Kedatangan kami di camp IGR disambut oleh beberapa kelompok pendaki lainya dari universitas berbeda, seperti biasa salam dan sapaan hangat dari penikmat alam ini yang membuat saya betah sampai hari ini untuk tetap mendaki. Saya merasa sangat terhormat sekali saat disambut dan bersalaman langsung oleh seorang sosok pengukir sejarah pendakian Indonesia, saksi hidup perjalanan panjang Soe Hok Gie dan kakak kandung dari Idhan Lubis yang menemui tuhan pada pendakian bersama Soe di Simeru, ya.. siapa lagi kalau bukan Idhat Lubis. Laki laki baya ini sangat ramah, mata nya mulai sayu, tapi tidak dengan semangat nya.
Kami di persilahkan masuk, sontak saja pikiran saya terbagi, mata saya fokus menatap beberapa puisi yang terpajang di dinding, puisi mahakarya Soe Hok Gie, Idhan Lubis dan Herman Lantang, ingin berdiri lama, tapi beban dari ransel begitu berat dan bahu memaksa untuk berhenti memikul. Saya berjalan menuju peristirahatan yang terletak di bagian atas, camp sederhana, bangunan yang ditopang oleh kayu dan atap seng yang sangat nyaring saat hujan datang. Tapi itulah nada alam, membuat irama syahdu menghembuskan kedinginan. Setelah sholat maghrib saya turun kebawah dengan beberapa maksud dan silaturahmi, beberapa kali saya mengangguk paham bahwa pelajaran berharga datang dari orang yang tak terpandang, bang Yhuda namanya, orang yang di rekomendasikan oleh tanti untuk saya temui, karena ternyata dia salah satu anggota IGR yang sudah paham seluk beluk pendakian. Obrolan kami ringan tapi, beberpa kali saya tersentak ternyata manusia hanya debu mengawang, sedikit hembusan tuhan manusia bisa hilang, musnah, manusia tak lebih dari sampah plastic yang dibuang oleh pendaki pendaki yang tak menghargai alam. Sarat makna, sarat pelajaran, tambah yakin mengapa saya masih betah mendaki.
Hal yang paling mencengangkan saat saya tahu jika laki laki baya yang duduk serius kursi lusuh itu ternyata menyelesaikan study nya di jurusan yang sama dengan saya, PSYCHOLOGY ! dan satu hal yang membuat tatapan saya kosong, tapi otak saya berfikir saat saya mendengar beliau tamatan dari Haravard University USA. Super wow.. saya merasa ciut mendengar itu. Tapi siapa kira, beliau lebih ramah dan arif dari status akademiknya, ini baru padi… berisi merunduk dan bermanfaat. Rasanya belum cukup untuk membatasi obrolan malam itu dengan bang yudha, tapi waktu memaksa saya untuk tidur karena bsk pagi saya butuh energy lebih agar tidak overakut saat mendaki nanti.


SEJARAH DIMULAI

Rabu, 12 Juni 2013 pukul 05.00 , saya dibangunkan kiran untuk sholat subuh, mata saya masih sembab, udara dingin masih betah menyerang saya bertubi tubi. Wahhh ini sungguh hal yang paling saya hindari dari dulu, jadi ingat masa sekolah setiap hari mamah selalu cerewet menyuruh untuk mandi pagi, maaf mah, aku hanya takut jika air dingin ini membekukan hatiku.. haaaa … ok, kembali ke laptop…. Setelah sholat dan mandi, saya kembali ke camp yang terletak di lantai atas, ternyata ada dua orang pendaki lain yang sedang prepare juga, sempat berkenalan dan ngobrol ringan dan beberapa pengalaman mulai keluar dari mulut pendaki satu ini, dari logat nya saya yakin ini pasti pendaki dari jawa, medok nya tidak bisa menipu ternyata benar, namanya mas temon dan mas firman pendaki asal Jember Jawa Timur ini baru saja turun dari gunung salak, mereka juga sudah pernah mendaki puncak tertinggi pulau jawa, ya gunung semeru yang sempat popular karena menjadi salah satu latar pembuatan film 5cm itu. 
Karena pendakian yang mewajibkan syarat minimal jumlah pendaki akhirnya dua orang senior saya ini bergabung dengan kami. Jadi total pendaki yang star dengan kami adalah sembilan orang. Kami memulai perjalanan menantang ini, dengan bekal bismillah kami melangkah pasti. Tanpa pemilihan umum dan keadaan serta situasi akhirnya saya dituliskan menjadi ketua kelompok pendakian kali ini, setelah melewati pos pengecekan surat surat persyaratan, perjalanan kami lanjutkan memasuki kawasan hutan, namun belum begitu sulit karena track yang di lalui masih dalam kategori eassy. Di tengah perjalanan tiba tiba anak anak yang lain meminta berhenti sejenak, tampak maryam agak kesulitan melanjutkan pendakian… saya mulai agak khawatir saat mendengar jawaban maryam ketika saya tanya ini pendakian keberapa? Maryam menjawab ini yang pertama. Tapi, tidak masalah selama kita tetap kompak perjalanan sejauh dan seterjal apapun pasti bisa di lewati jika kita bersama. Bukan begitu? Saya coba untuk memeberi motivasi apa adanya pada maryam walau kadang terdengar sedikit lebay … yahh tapi itulah saya, bukan bermaksud gombal atau modus tapi emang wanita tangguhlah yang bisa melewati medan yang cukup melelahkan ini termasuk dirimu maryam.  Hayooo Fujiama sudah di depan mata ..(nahh ini baru lebay)
Kami sampai di pos pertama, sebuah pertigaan, ada rambu yang menunjukan dua jalan yang berbeda yang satu mengarah ke air terjun dan yang satunya lagi kea rah puncak gunung. Luruskan niat, tujuan kita adalah gunung bukan air terjun, langkah kami lanjutkan, medan yang dilalui semakin menantang saja, terjal mendaki menanjak atau apapun namanya itu yang pasti serasa naik gunung … haaaa … banyak pendaki lain yang kami temui di sepanjang perjalanan, ada yang sesama mendaki adapula yang bermaksud turun, mulai dari mahasiswa pecinta alam, korps PMI sampai korps polisi hutan. Masih untung bukan raja hutan *upss..
Akhirnya kami sampai di jalanan setapak yang penuh dengan kebulan embun panas, wahh… jalanan batuan licin dan kucuran air panas mengalir dari celah bebatuan, ini medan yang cukup menantang dan berbahaya. Kami berhasil melewati tempat ini, perjalanan dilanjutkan lagi, akhirnya kurang lebih jam empat sore kita sampai di tempat camp pos kandang badak, pos yang disarankan oleh bang yudha untuk kita nginap semalaman disini sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak pangrango. Belum puas saya melepas penat, ribuan air dari langit datang menantang, haduhh… hujan…. Dengan sigap super cepat akhirnya kami mendirikan tenda di bawah limpahan rahmat yang turun. Basah… basah… malam datang, kita memutuskan untuk tidur agak cepat agar bsk pagi bisa lebih fresh mendaki sampai ke puncak, kali ini saya harus keluar dari pakem yang selama ini sangat jarang terjadi, jujur saja saya sebenarnya tidak bisa tidur dalam keadaan pakaian basah atau lembab walau sedikit saja, saya pasti resah, tp sadar sendiri, ini gunung, saya keluar dari zona  kenyamanan, serisih apapun tidak akan mengubah keadaan.. dan akhirnya.. bocor…bocor..(ala iklan) . tenda yang kami inapi bocor, atas bawah berlimpah air, haduhh… survival di kehidupan di mulai lagi, akhirnya saya tidur dalam keadaan duduk tanpa mimpi indah malam itu.

                                                                                                                               Bersambung...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar