Kembali ke
lilatur hidup yang serba ber analogi, kebingungan menatapi kehidupan yang benar
benar tak seperti dongeng ibu tentang malin kundang yang kaya lalu durhaka,
dikutuk lalu menjadi batu. Ini kenyataan, realita bagaimana saya harus mengerti
kemana dan untuk apa kita berfikir tentang asal mula dan arah perjuangan ini,
mau dibawa kemana hidup ini.
Bagaimanapun
juga saya harus bisa menjadi saya, saya bukan aku… karena aku adalah
kesombongan yang hanya boleh di gunakan tuhan dalam firman nya yang sacral,
betapa tidak.. tak pernah tuhan berkata saya dalam kitab setebal tiga puluh jus
itu. Tak percaya? Silahkan cari saja satu kata “saya” yang merujuk pasa sosok
tuhan di dalam kitab suci (Al-Qur’an).
Tidak tahu akhir
akhir ini saya lebih sering berfikir tentang konsep berfikir, sebelum mengerti
bagaimana berfikir dan hasil pemikiran itu sendiri. Kita tahu bagaimana seorang
Karl Marx menyumbang suatu pemikiran tentang konsep (menata) bermanusia yang di
aplikasikan oleh Lenin dan Stelin di Uni Soviet atau Mao Tze Dong di China dan Tan
Malaka di Indonesia dengan komunisnya yang merujuk pada bapak filsafat Yunani seperti
Socrates, Aritoteles atau Plato, atau Adam Smith dengan kapitalisme lberalnya di Amerika atau dari kalangan muslim seperti Ibnu Rusyd dan
Ibnu Sina yang lebih dikenal dengan ilmu bedahnya atau lebih jauh lagi pada
kisah Nabi Ibrahim mencari tuhan yang terjawab lewat tauhid. Semua mereka awali
dari berfikir.
Begitu menarik
jika ditelusuri, bagaimana orang orang besar lahir dan mencoba menjadi besar
karena kebesaran berfikir mereka menelisik tentang arti manusia. Stelah komunis
runtuh di poros timur, kapitalis mengalami goncangan sesungguhnya islam sebagai
sebuah konsep berfikir dapat bersinar lagi setelah beberapa decade redup.
Setiap tokoh besar dunia punya paham nya sendiri untuk bisa mengembangkan
konsep pemikirannya untuk di aplikasikan pada tatanan kenegaraan. Che Guevara dan
Fidel Castro di Argentina hingga bergerilia ke Cuba dengan marxismenya, atau
tokoh pergerakan Indonesia Soekarno dengan marheinisme yang di ikuti oleh
banyak soekarnois.
Lalu apa hubungannya
dengan saya yang tidak bisa menjadi aku? Sebenarnya simple saja, ketika saya
berfikir maka saya mencari arti, dan saat itu saya harus menemukan jawaban yang
sebanrnya sangat sulit saya artikan. Saya harus bisa menjadi saya yang
sesungguhnya, bukan ikut ikutan, beberapa konsep pemikiran orang orang besar
inilah yang mempengaruhi cara berfikir saya, saya bukan seorang komunis tp saya
tertarik dengan konsep lenin, saya juga bukan seorang marxisme tp saya sudah
menamatkan dua buku karya besar bapak revolusioner Indonesia yakni Narr de
repuliek dan MADILOG nya Tan Malaka, saya seorang muslim dan saya sangat menggandrungi prinsip berfikirnya Muhammad Al-Fatih yg bisa menakhlukan andalusia di bawah kekuasaan romawi saat berusia 20 tahun. Saya hanya bisa menjadi saya jika saya
berfikir dan bertindak sesuai pemikiran saya.
Saya tidak harus
menjadi marx, saya tidak harus menjadi lenin, atau seperti tokoh dalam negeri
seperti syahrir dengan paham sosialisnya, saya tetap menajdi Nadrian Akhsanov
dengan segala bentuk ke abstrakan berfikir yang belum menemui tuannya sampai hari ini. Berfikir
berfikir dan berfikir, itu yang membuat saya lebih banyak terdiam daripada
bicara tentang pencapaian, berfikir sesungguhnya mencari jalan untuk mengonsep
atau berwacana, berfikir adalah menafsir dalam bisu. Berfikir dan menulis, tak ada
orang yang bisa menulis tanpa banyak membaca. Maka bacalah dan tulislah, ada
proses kematangan disana saat kau bisa membaca, berfikir dan menulis. Karena
orang besar tak akan di kenang tanpa konsep berfikir yang dia tinggalkan,
karena orang besar tak akan dikenang tanpa karya penting yang di hasilkan
(tulisan).
SELAMAT
BERFIKIR, MEMBACA DAN MENULIS.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar