Selasa, 11 Juni
2013 . aku tidak tau harus ber ekspresi apa saat itu, bahagia? harus ! senang?
pasti ! sedih? Mungkin, tapi lebih tepatnya haru !
BASA
BASI
Ini pertama kali
saya menginjakan kaki di tempat yang telah berhasil menjadikan saya menahan penasaran
kurang lebih dua belas tahun yang lalu. Mari kita coba untuk flashback sejenak lebih dari satu decade
terakhir, saat saya menemukan sebuah novel bersampul pink punya kakak yang
berjudul Halimun Pangrango. Ya
Pangrango ! mulai dari saat itu saya hanya kenal kata pangrango saja tanpa tau
makhluk apa itu, atau mungkin nama sebuah benda atau bisa juga nama seseorang. Terserahlah,
yang pasti kata itu membuat saya menjadi penasaran.
Sampai akhirnya
saya mulai menuntut ilmu di tempat yang sangat tepat, Kota Bandung, kota yang
paling tepat untuk saya mengenal lebih jauh apa itu pangrango. So, penasaran
yang saya tahan selama lebih dari satu decade tersebut akhirnya terjawab sudah.
Pangrango ternyata nama dari sebuah gunung di tatar sunda yang memiliki ketinggian
3019 mdpl, gunung dengan rangking runner up tertinggi setelah Ciremei di Kuningan.
Terletak di perbatasan antara Kota Bogor dan Kabupaten Cianjur, gunung Pangrango
begitu kokoh berdiri dan bersanding dengan gunung Gede yang berkawah. Karna dua
gunung ini sejatinya adalah satu, namun mempunyai dua puncak yang berbeda
jadilah di kenal dengan nama gunung Gede Pangrango , dan dua gunung ini
termasuk dalam kawasan konservasi alam Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Ok,
sekian penjelasan singkat saya mengenai gunung yang menjadi salah satu
destinasi pendakian di Indonesia ini.
Sudah lama
sangat saya ingin menginjakan kaki di puncak gunung ini, dimana awan adalah
alasnya, berdinding kabut beratapkan langit, apalagi setelah saya mengenal Soe
Hok Gie, sosok yang sangat inspiring sekali dalam hidup saya, tapi kali ini
saya tidak akan membahas siapa itu Soe, terlalu panjang, sampai bosanpun tak
akan usai saya bercerita, singkat saja ini hanya sebuah catatan perjalan yang
saya lalui hingga menuju puncak lembah kasih itu. Thank’s soe, from pangrango
to love with you.
Setelah berhasil
menakhlukan beberapa puncak atap bumi di jawa barat, sampailah akhirnya saya
menambah checklist pendakian selanjutnya,
sebenarnya sudah lama saya ingin ke Pangrango, tekat itu semakin kuat
sesudah saya menonton film GIE, April 2013 baru saja sesaat saya turun dari
pendakian ke puncak Gunung Papandayan dengan lantangnya saya bilang kepada
teman teman bahwa target selanjutnya adalah Pangrango. Dan suara lantang
tersebut akhirnya menjadi kenyataan.
SEMINGGU
SEBELUM KEBERANGKATAN
Di kampus tercinta, obrolan panjang siang itu menemui titik temu, kita sepakat untuk mendaki Pangrango, saya bercerita lama tentang makna hidup dan pengabdian. Irfan nama teman saya itu, tapi panggilan akrabnya Daeng (panggilan kehormatan orang bugis), seorang mahasiswa perantauan dari makasar itu membuat saya betah berlama lama untuk ngobrol sampai mulut ini berbusa. Anak bugis yang satu ini ternyata petinggi di salah satu organisasi yang cukup dikenal di kampus saya, pantas saja obrolan ini terasa sarat dengan wawasan. Saya suka obrolan berat begini, karena saya haus ilmu. Tapi, lagi lagi ini bukan cerita tentang daeng, hanya saja saya merasa penting untuk menceritakan sedikit tentangnya di catatan kali ini.
Di waktu lain, dalam
suasana hening, hape saya berbunyi, saat itu saya sedang dalam forum rapat
pembahasan tentang kongres universitas dan beberapa agenda penting lainya.
Bersama ketua umum, sekretaris dan beberapa orang kepala bidang di jajaran cabinet
Senat Mahasiswa Fakultas Psikologi yang lain. Satu pesan diterima… sms dari Daeng
ternyata, saya kaget tiba tiba dia sudah menetapkan hari untuk kita mendaki,
kaget bukan kepalang karena saya memang buta keadaan dan situasi serta jalur
yang akan dilalui kesana. Dalam hati saya mikir “ieu budak kunaon? meuni ngotot pisan” (baca : ini anak kenapa? kog ngotot banget.red) haa.. hari itu juga saya
janjian untuk bertemu membahas rencana keberangkatan kami yang sangat mendadak
itu. Setelah cerita banyak, akhirnya saya setuju dan yakin agar kami berangkat
hari selasa, 12 Juni 2013.
PENDAKIAN
TIGA GENERASI B
Ini pendakian pertama saya dengan “orang baru” , karena memang sebelumnya selalu setia dengan team pendakian yang kita beri nama IPAMAPSI singkatan dari Ikatan Pecinta Alam Mahasiswa Psikologi, komunitas kecil yang punya hobi sama tapi bukan organisasi. Pendakian ke pangrango ini diikuti oleh tujuh orang anak muda, dengan lebih tepatnya tiga orang perempuan dan empat orang laki laki. Ada saya, Daeng, Jayadi, Herdi, Indri, Kiran dan Maryam. Pendakian kali ini saya beri judul pendakian tiga generasi, ya, karena kita beda generasi, saya menjadi orang paling “tua” dikelompok karena hanya saya yang duduk di semester enam dan maryam adalah anak bungsu dari kami semua karena maryam baru semester dua sedangkan yang lainnya semester empat.
Saya sangat
berharap jika pendakian kali ini harus berkesan dalam hidup. Harapan yang tidak
muluk karena ini memang mimpi yang telah lama tertahan.
Malam sebelum
keberangkatan saya menginap di rumah daeng, nge pack barang barang bawaan agar
tidak ada yang tertinggal saat nanti mendaki, bisa fatal jika tidak
dipersiapkan secara matang, karena alam itu buas jika kita lalai. Sadar jika
yang akan kita lalui adalah gunung tak lupa pastinya saya membawa baju hangat
untuk persiapan nanti, karena pasti diatas sana dingin banget, 3019 diatas
permukaan laut. Pagi buta saya bangun, sehabis sholat subuh saya bergegas untuk
mandi dan menyedu kopi hangat yang di bikin oleh tuan rumah, haaa … wah nikmat nya … sedikit cafein penjinak
pikiran agar tak liar lagi. Sekalian menunggu kedatangan maryam dan indri yang
kebetulan ikut berangkat bareng ke terminal cicaheum.
Setelah sarapan
pagi, kami berempat menuju caheum dengan angkot dan melanjutkan tujuan ke terminal leuwi panjang menaiki damri.
Kebablasan, sial... itu AC nya membuat saya lebih dini merasakan hawa gunung di dalam
bis umum ini. Super dingin hingga bulu tangan tegak berdiri seperti merinding.
Sampai di terminal leuwi panjang akhirnya teman yang lain datang, setelah
menetapkan mobil mana yang akan kami tumpangi dengan sedikit nego kami caw otw
menuju cibodas. Kurang lebih dua jam perjalanan kami sampai di pertigaan
cibodas, kami mesti naik lagi menuju tempat pendaftaran dengan jarak 4 km lagi dengan menaiki angkot, saya dan
anak anak yang lain sampai di pos pendaftaran pendakian, karena kedatangan kami
terlalu sore dan pendaftaran sudah ditutup akhirnya kami direkomendasikan untuk
menginap di camp Indonesian Green Ranger atau disingkat dengan IGR.
bersambung...
bersambung...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar