Jumat, 17 Mei 2013

Siapa yang salah?



Analisa berbeda jika sudut pandang yang kita aplikasikan berbeda pula . Ini menjadi hal sensitive saat kita melihat suatu permasalahan yang di pengaruhi subjectifitas yang tinggi. Insya allah saya mencoba untuk meminimalisir masalah itu.

Hari ini, jum’at 17 Mei 2013. Saya melihat permasalahan mahasiswa terlalu pelik, problematika kemahasiswaan menjadi bertambah saat segala aktifitas menjadi sangat diharuskan oleh deadline yang singkat. Semua orang berlomba lomba untuk menjadi hebat dan mencapai nilai maksimal,semua bertarung dengan waktu yang selalu mengacam keadaan. Ada yang salah disini, apa?

Dari kecil kita dituntut untuk bisa menjadi yang terhebat, tanpa kita sadari system kita yang membuat kita begitu, mahasiswa terkotak kotak menajdi berkasta kasta, dimana orang yang bernilai tinggi kastanya lebih dari ramhayana. Dan mereka yang dianggap “bodoh” adalah kasta terendah yang menghunyi lantai dasar. Kerusakan ini dimulai dari saat kita masih menginjak pendidikan terendah, system yang kita anut dimana setiap guru mewajibkan siswanya harus bisa menjadi hebat seperti dia. Lalu bagaimana?

Begini saja, Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah mata pelajaran + muatan local terbanyak di dunia, banyangkan saja ada + 13 mata pelajaran yang di wajibkan untuk di pahami oleh siswa, dan miris nya setiap guru berambisi agar anak didiknya harus bisa sama hebatnya dengan dia, guru mata pelajaran fisika ingin anak didik nya hebat seperti dia, guru mata pelajaran ekonomi ingin anak didiknya hebat seperti dia, mereka seakan menutup mata bahwa anak punya keahliannya masing masing dan tidak bisa di paksakan agar menelan semua yang mereka sajikan.

Guru/dosen dan orang tua sangat begitu konsen akan kekurangan yang dimiliki anak, namun mereka mengabaikan potensi yang seharusnya di gali dan dikembangkan lebih lanjut. Fenomena yang terjadi hari ini adalah, ketika seorang anak memiliki kemampuan menonjol di salah satu bidang sebut saja bidang seni, dilain pihak dia sangat lemah di bidang kimia, orang tua berbondong bondong untuk mendaftarkan anaknya untuk privat kimia, sedangkan potensi besar mereka di bidang seni dianggap tidak penting, karena stereotype dan sudut pandang masyarakat kita yang masih menganggap bahwa kecerdasan itu hanya di pengaruhi oleh satu aspek. Yaitu ilmu pasti atau sainst saja.

Seakan dan terkesan di masyarakat kita ini, pintar hanyalah untuk mereka yang bisa sukses mendapatkan nilai maksimal di bidang ilmu pasti, padahal segala aspek kehidupan itu berimbang, dan tulisan ini pun tidak akan hadir jika tidak ada aspek seni dan social yang saya miliki. Saya sangat tidak setuju dengan hal itu.

Baru baru ini saya sedang gencarnya belajar mata kuliah Psikodiagnostik, dan bahasan yang di sajikan adalah masalah Intelejensi. Ada satu teori yang saya anggap bisa mendukung opini yang saya sampaikan ini, namanya Teori Weschler. Intinya wesc berpendapat bahwa kecerdasan itu ada 9 aspek dan ingat kecerdasan bukan berarti hanya bisa menguasai ilmu saintis. Itu saja sebenarnya yang ingin saya tekankan. Dan nilai tidak sama sekali menggambarkan kecerdasan seseorang 100% .

Memaksakan kehendak kepada seseorang untuk bisa menjadi paham adalah salah satu bentuk sifat otoriter yang harus dihindari mulai dari sekarang. Bangsa ini terlalu mudah menjudgement, mempertahankan stereotype yang berkelanjutan hingga kesalahan dianggap wajar. 

                                                                                                                              *akhsanov

Tidak ada komentar:

Posting Komentar