Analisa
berbeda jika sudut pandang yang kita aplikasikan berbeda pula . Ini menjadi hal
sensitive saat kita melihat suatu permasalahan yang di pengaruhi subjectifitas
yang tinggi. Insya allah saya mencoba untuk meminimalisir masalah itu.
Hari ini,
jum’at 17 Mei 2013. Saya melihat permasalahan mahasiswa terlalu pelik,
problematika kemahasiswaan menjadi bertambah saat segala aktifitas menjadi
sangat diharuskan oleh deadline yang singkat. Semua orang berlomba lomba untuk
menjadi hebat dan mencapai nilai maksimal,semua bertarung dengan waktu yang
selalu mengacam keadaan. Ada yang salah disini, apa?
Dari kecil
kita dituntut untuk bisa menjadi yang terhebat, tanpa kita sadari system kita
yang membuat kita begitu, mahasiswa terkotak kotak menajdi berkasta kasta,
dimana orang yang bernilai tinggi kastanya lebih dari ramhayana. Dan mereka
yang dianggap “bodoh” adalah kasta terendah yang menghunyi lantai dasar.
Kerusakan ini dimulai dari saat kita masih menginjak pendidikan terendah,
system yang kita anut dimana setiap guru mewajibkan siswanya harus bisa menjadi
hebat seperti dia. Lalu bagaimana?
Begini saja,
Indonesia merupakan salah satu Negara dengan jumlah mata pelajaran + muatan
local terbanyak di dunia, banyangkan saja ada + 13 mata pelajaran yang
di wajibkan untuk di pahami oleh siswa, dan miris nya setiap guru berambisi
agar anak didiknya harus bisa sama hebatnya dengan dia, guru mata pelajaran
fisika ingin anak didik nya hebat seperti dia, guru mata pelajaran ekonomi
ingin anak didiknya hebat seperti dia, mereka seakan menutup mata bahwa anak punya
keahliannya masing masing dan tidak bisa di paksakan agar menelan semua yang
mereka sajikan.
Guru/dosen dan
orang tua sangat begitu konsen akan kekurangan yang dimiliki anak, namun mereka
mengabaikan potensi yang seharusnya di gali dan dikembangkan lebih lanjut.
Fenomena yang terjadi hari ini adalah, ketika seorang anak memiliki kemampuan
menonjol di salah satu bidang sebut saja bidang seni, dilain pihak dia sangat
lemah di bidang kimia, orang tua berbondong bondong untuk mendaftarkan anaknya
untuk privat kimia, sedangkan potensi besar mereka di bidang seni dianggap
tidak penting, karena stereotype dan sudut pandang masyarakat kita yang masih
menganggap bahwa kecerdasan itu hanya di pengaruhi oleh satu aspek. Yaitu ilmu
pasti atau sainst saja.
Seakan dan
terkesan di masyarakat kita ini, pintar hanyalah untuk mereka yang bisa sukses
mendapatkan nilai maksimal di bidang ilmu pasti, padahal segala aspek kehidupan
itu berimbang, dan tulisan ini pun tidak akan hadir jika tidak ada aspek seni
dan social yang saya miliki. Saya sangat tidak setuju dengan hal itu.
Baru baru ini
saya sedang gencarnya belajar mata kuliah Psikodiagnostik, dan bahasan yang di
sajikan adalah masalah Intelejensi. Ada satu teori yang saya anggap bisa
mendukung opini yang saya sampaikan ini, namanya Teori Weschler. Intinya wesc
berpendapat bahwa kecerdasan itu ada 9 aspek dan ingat kecerdasan bukan berarti
hanya bisa menguasai ilmu saintis. Itu saja sebenarnya yang ingin saya
tekankan. Dan nilai tidak sama sekali menggambarkan kecerdasan seseorang 100% .
Memaksakan
kehendak kepada seseorang untuk bisa menjadi paham adalah salah satu bentuk
sifat otoriter yang harus dihindari mulai dari sekarang. Bangsa ini terlalu
mudah menjudgement, mempertahankan stereotype yang berkelanjutan hingga
kesalahan dianggap wajar.
*akhsanov
Tidak ada komentar:
Posting Komentar